Monday, November 10, 2014

POROS PERGERAKAN HUKUM ISLAM


SANTRI MENYAPA DUNIA

Oleh : Nurul Fazri

BAB I
A.      Latar Belakang Masalah
Semangat kemajuan seolah tak ada habis – habisnya, mengingat perkembangan zaman yang teramat pesat, membuat semua sektor kehidupan seolah berlomba untuk mengejar prestasi, berbagai aspek juga mulai berkembang, seperti : pendidikan, teknologi, kesehatan dan lain sebagainya. Namun, ada beberapa aspek yang sampai sekarang seolah tidak terlalu dihiraukan, semua hanya berdasar pada penalaran saja.      
Berkembangnya zaman, ternyata tidak serta merta menjadikan seluruh umat islam mengerti akan landasan utama dalam nilai – nilai islam, masih banyak orang lebih percaya terhadap pendapat seorang guru Ngaji, Ustadz, Kyai dan lain sebagainya dalam pencarian sebuah pemecahan masalah. Orang - orang seolah puas dan begitu yakin atas keabsahan pendapat mereka, tanpa berusaha mencari tahu, dari mana sumber yang mereka gunakan untuk memberikan pendapat.
Berdasarkan uraian di atas, makalah ini hendak memaparkan kegelisahan pemakalah seputar kehidupan masyarakat yang seolah membutuhkan sebuah pembenaran sekaligus pengarahan terhadap penjabaran mengenai landasan utama dalam nilai – nilai islam.
 
B.       Rumusan Masalah
1.      Mengapa mayoritas umat islam tetap tidak mengerti dengan landasan utama dalam nilai – nilai Islam ?
2.      Apa sajakah landasan utama dalam nilai – nilai Islam itu ?
3.      Bagaimanakah cara mengarahkan masyarakat agar menjadikan landasan utama dalam nilai – nilai Islam, sebagai solusi terbaik dalam pemecahan masalah ?
 
C.      Tujuan penulisan
1.      Untuk menjelaskan sebab ketidakmengertian umat Islam terhadap landasan utama dalam nilai – nilaai Islam.
2.      Untuk menyebutkan sekaligus menjelasakan apa sajakah landasan ustama dalam nilai – nilai islam itu.
3.      Untuk memaparkan bagaimana caranya mengarahkan masyarakat dalam pengukuhan landasan utama sebagai pedoman hidup msayarakat.

BAB II
POROS PERGERAKAN HUKUM ISLAM

A.      Pengertian Hukum Islam
Secara umum Hukum Islam biasa juga disebut hukum syara’ yang terbagai kedalam lima  bagian[1], yaitu :
1.      Wajib yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat dosa.
Wajib atau fardhu itu dibagi menjadi dua bagian :
a.       Wajib ‘ain yaitu yang mesti dikerjakan oleh setiap orang yang mukallaf[2] sendiri, seperti shalat yang lima waktu, puasa dan sebagainya.
b.      Wajib kifayah yaitu suatu kewajiban yang telah dianggap cukup apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari orang – orang mukallaf. Dan berdosalah seluruhnya jika tidak seorangpun dari mereka mengerjakannya, seperti menyalatkan mayit dan menguburkannya.
2.      Sunnah yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.
Sunnah dibagi menjadi dua :
a.       Sunnah mu’akkad yaitu sunah yang sangat dianjurkan mengerjakannya seperti shalat tarawih, shalat dua hari raya, dan sebagainya.
b.      Sunnah ghairu mu’akkad yaitu sunah biasa.
3.      Haram yaitu suatu perkara yang apabila ditinggalkan mendapat pahala dan jika dikerjakaan mendapat dosa, seperti minum – minuman keras, berdansa, mendurhakai orang tua dan sebagainya.
4.      Makruh yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan apabila ditinggalkan mendapat pahala, seperti makan petai, bawang mentah dan sebagainya.
5.      Mubah yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan tidak mendapat pahala dan tidak berdosa, dan jika ditingggalkan juga tidak berdosa dan tidak mendapat pahala.

B.       Sumber Hukum Islam
Sumber hukum islam adalah rujukan atau landasan peraturan dan nilai – nilai islam[3].“Wahai orang – orang yang beriman ! taatilah Allah dan taati rosul, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rosul. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[4]
Rosululloh SAW. Bersabda, “Aku tinggalkan kepadamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang pada keduanya, yaitu kitabulloh dan sunnah”.[5]
Sebagaimana dijelaskan tadi, hukum islam adalah Al – Quran dan hadist.
1.      Al – Quran
Menurut bahasa, Al – Quran berasal dari kata qara’a yang artinya ‘bacaan’. Sedangkan, pengertian Al-Quran menurut istilah adalah kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui malaikat jibril.
Sungguh, kami telah menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, supaya engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena membela orang yang berkhianat.[6]
          Al-Quran adalah pedoman hidup bagi manusia agar ia hidup bahagia di dunia dan di akhirat[7]. Selain itu, Al – Quran juga ber fungsi sebagai :
a.       Petunjuk;
b.      Sebagai pembeda antara yang benar dan salah;
c.       Menentramkan hati bagi orang yang bertaqwa;
d.      Pengingat.
2.      Hadist
Menurut bahasa, hadist artinya baru, dekat (qarb), atau berita (Khabar). Menurut istilah, hadist adalah perkataan, perbuatan, dan takrir[8] (ketetapan) Nabi Muhammad SAW. Sebagian orang menyebut hadis sebagi sunnah. Dalam pendekatan bahasa, sunnah artinya kebiasaan Rosululloh SAW yang berhubungan dengan ucapan, perbuatan, dan takrirnya.
a.       Kedudukan Hadist
Dalam hukum islam, hadist merupakan sumber hukum kedua, setelah Al-Quran. Hadist menjelaskan suatu perkara, sedangkan Al-Quran mengonfirmasinya. Firman-Nya, “Apa yang diberikan rosul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya baagimu, maka tinggalkanlah[9].
Dengan merujuk pada ayat di atas, kedudukan hadist sebagai sumber hukum islam yang kedua, dijabarkan sebagai berikut :
1)        Orang – orang yang beriman harus menaati perintah Rosul dan menjauhi larangannya.
2)        Rosul diberi wewenang untuk menjelasakan Al – Quran dalam hadistnya.
3)        Nilai kebenaran hadist bersifat Zhanni, sedangkan Al – Quran mutlak.
b.      Fungsi Hadist
Secara umum, fungsi hadist adalah sebagai berikut :
1)        Menjelaskan ayat – ayat dalam Al – Quran yang bersifat umum.
2)        Memperkuat pernyataan dalam Al – Quran
3)        Menerangkan maksud dan tujuan suatu ayat
c.       Kualitas Hadist
Berikut ini tingkatan hadist dilihat dari segi kualitasnya :
1)        Sahih[10]
2)        Hasan[11]
3)        Dhaif[12]
4)        Mutawatir[13]
5)        Ahad[14]
6)        Masyhur[15]
d.      Hadist Qudsi
Hadist Qudsi, yaitu yang diberitakan oleh Allah melalui ilham atau mimpi. Rosululloh menyampaikan kembali dalam bahasanya sendiri, dengan mengatakan “Allah berfirman….”
Berikut perbedaan Hadist Qudsi dan Al –Quran :
1)        Redaksi dan makna Al – Quran berasal dari Allah, sedangkan redaksi Hadist Qudsi berasal dari Rosululloh SAW.
2)        Al – Quran bersifat mutawatir (Shahih), sedangkan Hadist Qudsi bisa saja bersifat sahih, dhaif atau palsu.
3)        Membaca Al – Quran memiliki nilai ibadah yang khusus satu huruf sebanding satu kebaikan, dan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh. 

BAB III
ANALISIS TERHADAP SUMBER HUKUM ISLAM
A.      Keberadaan Al – Quran dan Hadist sebagai sumber Hukum Islam
Secara umum, sumber hukum islam adalah Al – Qur’an dan Hadist, sebagaimana firman Allah, “Wahai orang – orang yang beriman ! taatilah Allah dan taati rosul, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rosul. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[16]
Namun, jika kita runtut sesuai dengan sejarah perkembangan Islam dan keilmuannya, maka ada beberapa sumber yang harus kita kaji, mengingat banyak sekali permasalahan – permasalahan seputar keagamaan yang bermunculan pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, jika hanya berpedoman pada dua sumber saja, maka akan terjadi kerancuan dalam penentuan suatu hukum, yang masih memerlukan penafsiran dan kajian secara mendalam sesuai kondisi masyarakat.
Sumber – sumber lain itu, antara lain : Ijma’. Qiyas, Maslahah Mursalah, Istihsan, Istishab, Istidlal, ‘Urf, Saddudz Dzara’I, semua sumber ini terangkum dalam Ijtihad.   

B.       Ijtihad termasuk sumber Hukum Islam
Pengertian Ijtihad adalah berusaha dengan sungguh – sungguh untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Sedangkan menurut istilah ilmu fiqih, ijtihad adalah memikirkan sesuatu dengan sungguh – sungguh untuk menghasilkan suatu pendapat atau hukum berdasarkan Al – Quran dan Hadist. Orang yang berijtihad disebut Mujtahid.
1.      Syarat – syarat seorang Mujtahid :
a.         Mengetahui bahasa Arab karena Al – Quran dan hadist ditulis dengan bahasa Arab.
b.        Memhami Al – Quran dan Hadist secara mendalam.
c.         Memiliki ilmu penunjang lainnya.
d.        Mempunyai semangat pengabdian terhadap perkembangan Hukum Islam
e.         Ikhlas dan memiliki akhlak terpuji.
2.      Bentuk – bentuk Ijtihad
a.       Ijma’ adalah kesepakatan pendapat mujtahid pada suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Atas suatu perkara.
b.      Qiyas adalah mengukur atau menyamakan suatu kejadian yang belum ada nashnya, baik dalam Al-Quran ataupun Hadist, dengan suatu kejadian yang sudah ada atau jelas nash hukumnya.
c.       Mashlahah Mursalah adalah kebaikan yang tidak dikemukakan oleh syariat untuk mengerjakan atau meninggalkannya, tetapi kalau tidak dilaksanakan akan membawa kemaslahatan dan menghindari keburukan.
d.      Istihsan adalah menentukan solusi suatu masalah yang tidak dijelaskan secara terperinci dalam Al – Quran dan Hadist.
e.       Istishab adalah meneruskan berlakunya suatu hokum yang telah ada, sampai dalil lain yang mengubah keududkan hukum.
f.       Istidlal adalah menetapkan hukum suatu tindakan yang tidak disebut secara tegas dalam Al – Quran dan Hadist.
g.      ‘Urf adalah urusan yang disepakati oleh sekelompok orang dalam perkembangan hidupnya dan telah menjadi adat kebiasaan.
h.      Saddudz Dzara’I adalah pekerjaan – pekerjaan untuk menghindari keburukan.
3.      Fungsi dan Kedudukan Ijtihad
Keputusan hukum hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum islam yang ketiga setelah Al-Quran dan Hadist. Ia dapat juga disebut sumber hukum islam tambahan karena sumber hukum islam yang pokok adalah Al – Quran dan Hadist.
Kebenaran hukum hasil Ijtihad bersifat relatif atau nisbi, yaitu berubah – ubah bergantung pada situasi, kondisi, dan mempunyai kemungkinan hanya berlaku bagi seseorang, suatu kelompok, atau pada masa tertentu. Berbeda dengan hokum yang tercantum pada Al – Quran, nilai kebenarannya mutlak dan berlaku sepanjang masa.
Kualitas hukum hasil Ijtihad bergantung pada kemampuan mujtahid dalam berijtihad, sejauh mana ia memenuhi persyaratan sebagai mujtahid, sejauh mana kemampuan berpikirnya, dan sejauh mana dedikasinya terhadap perkembangan hukum islam.
  
BAB IV
PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.      Kurangnya kesadaran dalam menumbuhkan semangat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang agama islam, menjadikan setiap orang lebih menyukai pendapat – pendapat orang lain, sekaligus meyakininya sebagai kebenaran yang mutlak, tanpa ada suatu usaha pembuktian atas anggapan mutlak atau pembenaran tersebut, semua hanya di sandarkan terhadap orang yang dipandang mampu, dalam istilah islam hal seperti ini disebut “Taqlidu A’ma”.
2.      Sebagaimana firman Allah, hadist nabi dan pemaparan di atas, landasan utama dalam nilai – nilai Islam adalah : Al – Quran, Hadist dan Ijtihad.
3.      Menumbuhkan kesadaran dalam pengembangan ilmu pengetahuan keagamaan, dimulai dari generasi – generasi muda saat ini, yang masih menyimpan harapan begitu besar, jika kita berharap kepada generasi – generasi yang sudah memiliki usia, harapan dalam kesuksesan proses ini amatlah kecil.   
B.       Saran
Pemakalah berharap kepada seluruh pembaca, jika menemukan kekurangan dalam penulisan makalah ini, untuk dapat menyampaikan kepada pemakalah, karena ini termasuk kedalam bagian pengembangan ilmu pengetahuan, saran dan masukan anda sangat kami harapkan. 
C.      Daftar Pustaka
1.      Rifa’I, Mohammad. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang: Karya Toha Putra, 2011.
2.      Mulyani, Dewi. Buku Pintar Untuk Muslimah. Bandung: Mizania, 2012.
3.      Ajaj Al Khatib, Muhammad. Ushul Al-Hadist Pokok – Pokok Ilmu Hadist. Beirut: Dar Al-Fikr, 1998.



[1] Mohammad Rifa’I, Risalah Tuntunan Shalat Lengkap (Semarang:Karya Toha Saputra, 2011), 9.
[2] Mukallaf adalah orang muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan mejauhi larangan agama, karena telah dewasa dan dan berakal (akil baligh) serta telah mendengar seruan agama.
[3] Dewi Mulyani, Buku Pintar Untuk Muslimah (Bandung:Mizania, 2012), 183.
[4] Al – Qur’an, 4:59.
[5] HR. Bukhari dan Muslim
[6] Al – Quran, 4:105.
[7] Dewi Mulyani, Buku Pintar Untuk Muslimah (Bandung:Mizania, 2012), 186.
[8] Takrir adalah sikap Nabi membiarkan perkataan atau sikap sahabat. Sikap mendiamkan yang dilakukan Rosululloh tersebut menandakan bahwa beliau menyetujui perkataan atau sikap tersebut.
[9] Al – Quran, 59:7
[10] Sahih, yaitu hadist yang bersambung sanad-nya, perawinya adisl dan sempurna ingatannya.
[11] Hasan, yaitu hadist yang memenuhi syarat hadist sahih, bersambung sanadnya dengan orang – orang yang adil. Akan tetapi tingkat hafalabn atau daya ingat perawinya kurang.
[12] Dhaif, yaitu hadist yang tidak memenuhi syarat sebagai hadist sahih dan hasan.
[13] Mutawatir, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi. Mereka melihat atau mendengar sendiri dengan jumlah yang banyak sehingga tidak memungkinkan perawi berdusta.
[14] Ahad, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh satu orang, dua atau lebih. Akan tetapi, derajat hadistnya tidak sampaikepada derajat muatawatir.
[15] Masyhur, yaitu hadist yang masuk golongan ahad. Hadist masyhur diriwayatkan oleh paling sedikit tiga perawi.
[16] Al – Qur’an, 4:59.

No comments:

Post a Comment