SANTRI MENYAPA DUNIA
Oleh : Nurul Fazri
BAB I
A.
Latar Belakang Masalah
Semangat
kemajuan seolah tak ada habis – habisnya, mengingat perkembangan zaman yang
teramat pesat, membuat semua sektor kehidupan seolah berlomba untuk mengejar
prestasi, berbagai aspek juga mulai berkembang, seperti : pendidikan,
teknologi, kesehatan dan lain sebagainya. Namun, ada beberapa aspek yang sampai
sekarang seolah tidak terlalu dihiraukan, semua hanya berdasar pada penalaran saja.
Berkembangnya
zaman, ternyata tidak serta merta menjadikan seluruh umat islam mengerti akan
landasan utama dalam nilai – nilai islam, masih banyak orang lebih percaya
terhadap pendapat seorang guru Ngaji, Ustadz, Kyai dan lain sebagainya dalam
pencarian sebuah pemecahan masalah. Orang - orang seolah puas dan begitu yakin
atas keabsahan pendapat mereka, tanpa berusaha mencari tahu, dari mana sumber
yang mereka gunakan untuk memberikan pendapat.
Berdasarkan
uraian di atas, makalah ini hendak memaparkan kegelisahan pemakalah seputar
kehidupan masyarakat yang seolah membutuhkan sebuah pembenaran sekaligus
pengarahan terhadap penjabaran mengenai landasan utama dalam nilai – nilai
islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Mengapa
mayoritas umat islam tetap tidak mengerti dengan landasan utama dalam nilai –
nilai Islam ?
2.
Apa
sajakah landasan utama dalam nilai – nilai Islam itu ?
3.
Bagaimanakah
cara mengarahkan masyarakat agar menjadikan landasan utama dalam nilai – nilai
Islam, sebagai solusi terbaik dalam pemecahan masalah ?
C.
Tujuan penulisan
1.
Untuk
menjelaskan sebab ketidakmengertian umat Islam terhadap landasan utama dalam
nilai – nilaai Islam.
2.
Untuk
menyebutkan sekaligus menjelasakan apa sajakah landasan ustama dalam nilai –
nilai islam itu.
3.
Untuk
memaparkan bagaimana caranya mengarahkan masyarakat dalam pengukuhan landasan
utama sebagai pedoman hidup msayarakat.
BAB
II
POROS PERGERAKAN HUKUM ISLAM
A.
Pengertian Hukum Islam
Secara
umum Hukum Islam biasa juga disebut hukum syara’ yang terbagai kedalam
lima bagian[1],
yaitu :
1.
Wajib
yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika
ditinggalkan mendapat dosa.
Wajib atau
fardhu itu dibagi menjadi dua bagian :
a.
Wajib
‘ain yaitu yang mesti dikerjakan oleh setiap orang yang mukallaf[2]
sendiri, seperti shalat yang lima waktu, puasa dan sebagainya.
b.
Wajib
kifayah yaitu suatu kewajiban yang telah dianggap cukup apabila telah
dikerjakan oleh sebagian dari orang – orang mukallaf. Dan berdosalah seluruhnya
jika tidak seorangpun dari mereka mengerjakannya, seperti menyalatkan mayit dan
menguburkannya.
2.
Sunnah
yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila
ditinggalkan tidak berdosa.
Sunnah dibagi
menjadi dua :
a.
Sunnah
mu’akkad yaitu sunah yang sangat dianjurkan mengerjakannya seperti shalat
tarawih, shalat dua hari raya, dan sebagainya.
b.
Sunnah
ghairu mu’akkad yaitu sunah biasa.
3.
Haram
yaitu suatu perkara yang apabila ditinggalkan mendapat pahala dan jika
dikerjakaan mendapat dosa, seperti minum – minuman keras, berdansa, mendurhakai
orang tua dan sebagainya.
4.
Makruh
yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan apabila
ditinggalkan mendapat pahala, seperti makan petai, bawang mentah dan
sebagainya.
5.
Mubah
yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan tidak mendapat pahala dan tidak
berdosa, dan jika ditingggalkan juga tidak berdosa dan tidak mendapat pahala.
B.
Sumber Hukum Islam
Sumber
hukum islam adalah rujukan atau landasan peraturan dan nilai – nilai islam[3].“Wahai
orang – orang yang beriman ! taatilah Allah dan taati rosul, dan ulil amri di
antara kalian. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu,
kembalikanlah kepada Allah dan Rosul. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya”.[4]
Rosululloh
SAW. Bersabda, “Aku tinggalkan kepadamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat
selama berpegang pada keduanya, yaitu kitabulloh dan sunnah”.[5]
Sebagaimana
dijelaskan tadi, hukum islam adalah Al – Quran dan hadist.
1.
Al –
Quran
Menurut
bahasa, Al – Quran berasal dari kata qara’a yang artinya ‘bacaan’. Sedangkan,
pengertian Al-Quran menurut istilah adalah kumpulan wahyu Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui malaikat jibril.
Sungguh,
kami telah menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran,
supaya engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah
kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah),
karena membela orang yang berkhianat.[6]
Al-Quran adalah pedoman hidup bagi
manusia agar ia hidup bahagia di dunia dan di akhirat[7].
Selain itu, Al – Quran juga ber fungsi sebagai :
a.
Petunjuk;
b.
Sebagai
pembeda antara yang benar dan salah;
c.
Menentramkan
hati bagi orang yang bertaqwa;
d.
Pengingat.
2.
Hadist
Menurut
bahasa, hadist artinya baru, dekat (qarb), atau berita (Khabar). Menurut
istilah, hadist adalah perkataan, perbuatan, dan takrir[8]
(ketetapan) Nabi Muhammad SAW. Sebagian orang menyebut hadis sebagi sunnah.
Dalam pendekatan bahasa, sunnah artinya kebiasaan Rosululloh SAW yang
berhubungan dengan ucapan, perbuatan, dan takrirnya.
a.
Kedudukan
Hadist
Dalam
hukum islam, hadist merupakan sumber hukum kedua, setelah Al-Quran. Hadist
menjelaskan suatu perkara, sedangkan Al-Quran mengonfirmasinya. Firman-Nya, “Apa
yang diberikan rosul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
baagimu, maka tinggalkanlah”[9].
Dengan
merujuk pada ayat di atas, kedudukan hadist sebagai sumber hukum islam yang
kedua, dijabarkan sebagai berikut :
1)
Orang
– orang yang beriman harus menaati perintah Rosul dan menjauhi larangannya.
2)
Rosul
diberi wewenang untuk menjelasakan Al – Quran dalam hadistnya.
3)
Nilai
kebenaran hadist bersifat Zhanni, sedangkan Al – Quran mutlak.
b.
Fungsi
Hadist
Secara umum,
fungsi hadist adalah sebagai berikut :
1)
Menjelaskan
ayat – ayat dalam Al – Quran yang bersifat umum.
2)
Memperkuat
pernyataan dalam Al – Quran
3)
Menerangkan
maksud dan tujuan suatu ayat
c.
Kualitas
Hadist
Berikut ini
tingkatan hadist dilihat dari segi kualitasnya :
1)
Sahih[10]
2)
Hasan[11]
3)
Dhaif[12]
4)
Mutawatir[13]
5)
Ahad[14]
6)
Masyhur[15]
d.
Hadist
Qudsi
Hadist
Qudsi, yaitu yang diberitakan oleh Allah melalui ilham atau mimpi. Rosululloh
menyampaikan kembali dalam bahasanya sendiri, dengan mengatakan “Allah
berfirman….”
Berikut
perbedaan Hadist Qudsi dan Al –Quran :
1)
Redaksi
dan makna Al – Quran berasal dari Allah, sedangkan redaksi Hadist Qudsi berasal
dari Rosululloh SAW.
2)
Al –
Quran bersifat mutawatir (Shahih), sedangkan Hadist Qudsi bisa saja bersifat
sahih, dhaif atau palsu.
3)
Membaca
Al – Quran memiliki nilai ibadah yang khusus satu huruf sebanding satu
kebaikan, dan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh.
BAB
III
ANALISIS
TERHADAP SUMBER HUKUM ISLAM
A.
Keberadaan Al – Quran dan Hadist sebagai sumber Hukum Islam
Secara
umum, sumber hukum islam adalah Al – Qur’an dan Hadist, sebagaimana firman
Allah, “Wahai orang – orang yang beriman ! taatilah Allah dan taati rosul,
dan ulil amri di antara kalian. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rosul. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[16]
Namun,
jika kita runtut sesuai dengan sejarah perkembangan Islam dan keilmuannya, maka
ada beberapa sumber yang harus kita kaji, mengingat banyak sekali permasalahan
– permasalahan seputar keagamaan yang bermunculan pasca wafatnya Nabi Muhammad
SAW, jika hanya berpedoman pada dua sumber saja, maka akan terjadi kerancuan
dalam penentuan suatu hukum, yang masih memerlukan penafsiran dan kajian secara
mendalam sesuai kondisi masyarakat.
Sumber
– sumber lain itu, antara lain : Ijma’. Qiyas, Maslahah Mursalah, Istihsan,
Istishab, Istidlal, ‘Urf, Saddudz Dzara’I, semua sumber ini terangkum dalam
Ijtihad.
B.
Ijtihad termasuk sumber Hukum Islam
Pengertian
Ijtihad adalah berusaha dengan sungguh – sungguh untuk mengerjakan sesuatu yang
sulit. Sedangkan menurut istilah ilmu fiqih, ijtihad adalah memikirkan sesuatu
dengan sungguh – sungguh untuk menghasilkan suatu pendapat atau hukum
berdasarkan Al – Quran dan Hadist. Orang yang berijtihad disebut Mujtahid.
1.
Syarat
– syarat seorang Mujtahid :
a.
Mengetahui
bahasa Arab karena Al – Quran dan hadist ditulis dengan bahasa Arab.
b.
Memhami
Al – Quran dan Hadist secara mendalam.
c.
Memiliki
ilmu penunjang lainnya.
d.
Mempunyai
semangat pengabdian terhadap perkembangan Hukum Islam
e.
Ikhlas
dan memiliki akhlak terpuji.
2.
Bentuk
– bentuk Ijtihad
a.
Ijma’
adalah kesepakatan pendapat mujtahid pada suatu masa setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW. Atas suatu perkara.
b.
Qiyas
adalah mengukur atau menyamakan suatu kejadian yang belum ada nashnya, baik
dalam Al-Quran ataupun Hadist, dengan suatu kejadian yang sudah ada atau jelas
nash hukumnya.
c.
Mashlahah
Mursalah adalah kebaikan yang tidak dikemukakan oleh syariat untuk mengerjakan
atau meninggalkannya, tetapi kalau tidak dilaksanakan akan membawa kemaslahatan
dan menghindari keburukan.
d.
Istihsan
adalah menentukan solusi suatu masalah yang tidak dijelaskan secara terperinci
dalam Al – Quran dan Hadist.
e.
Istishab
adalah meneruskan berlakunya suatu hokum yang telah ada, sampai dalil lain yang
mengubah keududkan hukum.
f.
Istidlal
adalah menetapkan hukum suatu tindakan yang tidak disebut secara tegas dalam Al
– Quran dan Hadist.
g.
‘Urf
adalah urusan yang disepakati oleh sekelompok orang dalam perkembangan hidupnya
dan telah menjadi adat kebiasaan.
h.
Saddudz
Dzara’I adalah pekerjaan – pekerjaan untuk menghindari keburukan.
3.
Fungsi
dan Kedudukan Ijtihad
Keputusan hukum hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum islam
yang ketiga setelah Al-Quran dan Hadist. Ia dapat juga disebut sumber hukum
islam tambahan karena sumber hukum islam yang pokok adalah Al – Quran dan
Hadist.
Kebenaran hukum hasil Ijtihad bersifat relatif atau nisbi, yaitu
berubah – ubah bergantung pada situasi, kondisi, dan mempunyai kemungkinan
hanya berlaku bagi seseorang, suatu kelompok, atau pada masa tertentu. Berbeda
dengan hokum yang tercantum pada Al – Quran, nilai kebenarannya mutlak dan
berlaku sepanjang masa.
Kualitas hukum hasil Ijtihad bergantung pada kemampuan mujtahid
dalam berijtihad, sejauh mana ia memenuhi persyaratan sebagai mujtahid, sejauh
mana kemampuan berpikirnya, dan sejauh mana dedikasinya terhadap perkembangan hukum
islam.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Kurangnya
kesadaran dalam menumbuhkan semangat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam
bidang agama islam, menjadikan setiap orang lebih menyukai pendapat – pendapat
orang lain, sekaligus meyakininya sebagai kebenaran yang mutlak, tanpa ada
suatu usaha pembuktian atas anggapan mutlak atau pembenaran tersebut, semua
hanya di sandarkan terhadap orang yang dipandang mampu, dalam istilah islam hal
seperti ini disebut “Taqlidu A’ma”.
2.
Sebagaimana
firman Allah, hadist nabi dan pemaparan di atas, landasan utama dalam nilai –
nilai Islam adalah : Al – Quran, Hadist dan Ijtihad.
3.
Menumbuhkan
kesadaran dalam pengembangan ilmu pengetahuan keagamaan, dimulai dari generasi
– generasi muda saat ini, yang masih menyimpan harapan begitu besar, jika kita
berharap kepada generasi – generasi yang sudah memiliki usia, harapan dalam
kesuksesan proses ini amatlah kecil.
B.
Saran
Pemakalah
berharap kepada seluruh pembaca, jika menemukan kekurangan dalam penulisan
makalah ini, untuk dapat menyampaikan kepada pemakalah, karena ini termasuk
kedalam bagian pengembangan ilmu pengetahuan, saran dan masukan anda sangat
kami harapkan.
C.
Daftar Pustaka
1.
Rifa’I,
Mohammad. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang: Karya Toha Putra,
2011.
2.
Mulyani,
Dewi. Buku Pintar Untuk Muslimah. Bandung: Mizania, 2012.
3.
Ajaj
Al Khatib, Muhammad. Ushul Al-Hadist Pokok – Pokok Ilmu Hadist. Beirut:
Dar Al-Fikr, 1998.
[1]
Mohammad Rifa’I, Risalah Tuntunan Shalat Lengkap (Semarang:Karya Toha
Saputra, 2011), 9.
[2]
Mukallaf adalah orang muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan
mejauhi larangan agama, karena telah dewasa dan dan berakal (akil baligh) serta
telah mendengar seruan agama.
[3]
Dewi Mulyani, Buku Pintar Untuk Muslimah (Bandung:Mizania, 2012), 183.
[4]
Al – Qur’an, 4:59.
[5]
HR. Bukhari dan Muslim
[6]
Al – Quran, 4:105.
[7]
Dewi Mulyani, Buku Pintar Untuk Muslimah (Bandung:Mizania, 2012), 186.
[8]
Takrir adalah sikap Nabi membiarkan perkataan atau sikap sahabat. Sikap
mendiamkan yang dilakukan Rosululloh tersebut menandakan bahwa beliau
menyetujui perkataan atau sikap tersebut.
[9]
Al – Quran, 59:7
[10]
Sahih, yaitu hadist yang bersambung sanad-nya, perawinya adisl dan sempurna
ingatannya.
[11]
Hasan, yaitu hadist yang memenuhi syarat hadist sahih, bersambung sanadnya
dengan orang – orang yang adil. Akan tetapi tingkat hafalabn atau daya ingat
perawinya kurang.
[12]
Dhaif, yaitu hadist yang tidak memenuhi syarat sebagai hadist sahih dan hasan.
[13]
Mutawatir, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi. Mereka melihat
atau mendengar sendiri dengan jumlah yang banyak sehingga tidak memungkinkan
perawi berdusta.
[14]
Ahad, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh satu orang, dua atau lebih. Akan
tetapi, derajat hadistnya tidak sampaikepada derajat muatawatir.
[15]
Masyhur, yaitu hadist yang masuk golongan ahad. Hadist masyhur diriwayatkan
oleh paling sedikit tiga perawi.
[16]
Al – Qur’an, 4:59.
No comments:
Post a Comment